Project Menghargai Tubuh V.1.0

1. Minum air putih minimal 1,5 liter setiap hari

2. Selalu ada sayuran hijau setiap kali makan

3. Lari di treadmill minimal 3 kali seminggu

4. Cuci muka minimal 2 kali sehari

5. Pakai night cream dan night body lotion sebelum tidur

6. SPF 50 sebelum beraktivitas setiap hari

7. Pakai vitamin rambut sehabis keramas, waktu rambut masih 1/2 kering

8. Paling maksimal 1 gelas minuman manis setiap hari. Nggak minum manis lebih baik

9. Pakai masker kalau naik kendaraan umum, masker dicuci.

10. Nggak pulang malam kalau memang nggak butuh lembur, work more effectively at office hours

11. Bayar hutang tidur setiap hari Sabtu

12. Sempatkan diri untuk maskeran setiap weekend

13. Selalu cuci tangan saat sampai kantor, sampai ke rumah, sebelum makan, dan setelah beraktivitas di luar ruangan. Bawa hand sanitizer, in case of nggak ada decent sink untuk cuci tangan

14. Pakai perfume biar happy karena wewangian mempengaruhi mood

15. Stay positive! Harus punya sikap bodo amat buat hal-hal yang nggak menyenangkan. Selalu bersyukur meski berada pada keadaan yang tidak diharapkan. Stay away from stress because stress creates wrinkles. 😉

Perihal Bekerja

Kadang saya berpikir kenapa saya pada akhirnya kuliah di jurusan Planologi, sebuah jurusan yang kurang familiar bagi masyarakat umum, juga bagi saya sendiri ketika masih SMA. Padahal awalnya saya ingin masuk ke Desain Komunikasi Visual, kemudian pindah ke Arsitektur, ujung-ujungnya saya malah berlabuh ke Planologi. Saya beberapa kali juga mencoba peruntungan mencari pekerjaan yang agak menyeleweng dari jurusan Planologi, namun pada akhirnya kembali lagi ke industri Property yang masih punya benang merah dengan ilmu yang saya pelajari waktu kuliah. Semenjak lulus sampai sekarang, meskipun tidak pernah direncanakan sebelumnya, saya konsisten bekerja di bidang ini dan perlahan-lahan mulai mencintainya.

Di dalam doa, saya selalu meminta kepada Tuhan agar saya mampu memberikan yang terbaik untuk pekerjaan saya..

Bekerja bagi saya bukan hanya soal tanggung jawab yang perlu diselesaikan, bukan selalu tentang bagaimana mengoptimalkan potensi diri, bukan juga sekedar gaji untuk memenuhi semua kebutuhan hidup. Semua yang saya sebutkan  memang merupakan tujuan dan manfaat bekerja. Namun lebih daripada itu, bekerja memiliki esensi yang lebih dalam bagi saya, yakni melaksanakan tugas di dunia. Setiap individu diciptakan unik dan memiliki talenta masing-masing. Saya percaya kita semua diarahkan untuk menjalani suatu jalur tertentu sesuai dengan bakat dan talenta kita agar memiliki peran yang bermanfaat di dunia. Mungkin Tuhan telah menggariskan di bidang ini lah saya memiliki peran di dunia. Untuk itu, tidak ada hal lain yang saya bisa lakukan selain mencintai pekerjaan ini dan berusaha melakukan yang terbaik. Terbaik bukan hanya untuk orang lain yang bersentuhan dengan pekerjaan saya, tapi juga untuk saya sendiri. Hasil pekerjaan yang terbaik selalu membuat saya puas dan bangga karena pekerjaan saya ini pada akhirnya akan bermanfaat untuk banyak orang.

Perihal Memilih Pasangan Hidup

Sebetulnya ini hanya post kurang penting yang saya buat sebelum tidur. Hitung-hitung sebagai dokumentasi dari hal yang sedang saya pikirkan di detik pergantian bulan Oktober menjadi November, jadi jika saya dari masa depan membaca post ini saya ingat bahwa pemikiran ini pernah muncul sambil menghantar saya tidur.

Umur 24 tahun dan masih single mau tidak mau membuat banyak orang melontarkan pertanyaan, “kapan married?”. Tidak bisa disalahkan karena begitu lah karakter orang Indonesia yang selalu senang ketika tahu perkembangan hidup orang lain. Saya sendiri juga selalu penasaran dengan perkembangan hidup orang lain yang saya kenal. Toh, kalau orang lain bahagia saya juga ikut senang. Tapi jujur saja, untuk semua pertanyaan itu, saya merasa masih muda untuk diburu-buru menikah. Justru belum menikah itu menjadi privilege bagi saya untuk sebebas-bebasnya mengejar impian lain, mumpung badan masih kuat, jiwa masih bersemangat, dan belum ada anggota keluarga yang secara ekonomi menjadi tanggungan. Intinya sebenarnya  saya sih santai saja.

Banyak orang yang bilang saya terlalu ‘picky’, tapi menurut saya nggak juga. Prinsip saya, daripada memaksakan dengan orang yang salah lebih baik menunggu seseorang yang tepat meskipun itu membutuhkan sedikit lebih banyak waktu dan kesabaran. Bagaimana pun juga memilih pasangan hidup itu bukan hal yang sederhana. Memilih pasangan bisnis saja nggak bisa sembarangan, apalagi memilih pasangan hidup. Aspek hidup jauh lebih kompleks dibanding bisnis. Salah memilih pasangan bisnis, dampak terburuknya paling-paling kehilangan uang. Salah memilih pasangan hidup, dampaknya kehilangan uang, kehilangan aset, kehilangan hak asuh, kehilangan teman yang mendampingi hidup, kehilangan kebahagiaan, pada akhirnya kehilangan hidup itu sendiri. Frustasi.  Makanya, menurut saya memilih pasangan hidup tidak bisa sembarangan. Cuma karena ada yang mau sama saya, saya lagi kosong, lalu saya iyakan saja. Bagi saya, masa-masa itu sudah lewat 2-3 tahun yang lalu..

Pasangan hidup yang saya cari adalah orang yang bersama saya bisa membentuk suatu tim yang solid. Banyak orang, terutama perempuan, seakan menganggap pernikahan itu adalah pintu gerbang untuk kebahagiaan yang absolut. Kenyataannya,  persoalan hidup tidak serta merta berakhir hanya karena menikah. Sebut saja permasalahan dalam mengurus anak -anak, pusing mengatur prioritasi keuangan, belum lagi berbagai keluh kesah tentang pekerjaan yang sudah ada bahkan ketika belum menikah, dan banyak lagi. Pasangan hidup yang tepat menurut saya adalah orang yang bersama saya dapat berbagi visi yang sama tentang kehidupan. Saya membayangkan sebuah keadaan di mana saya dan dia punya rencana-rencana  dan mimpi bersama yang ingin diwujudkan satu per satu. Untuk itu, dia diciptakan sebagai sosok yang tidak sempurna namun bisa mengisi kekurangan saya, juga dengan agresivitasnya mampu memimpin dan memberi arahan ke mana kita akan melangkah selanjutnya. Sebaliknya, saya pun dapat dengan ikhlas mendampingi dia untuk mencapai mimpi-mimpinya sambil sesekali memarahi kalau tindakan sudah menjauh dari tujuan. Dia adalah planner, sedangkan saya controller. Dia adalah seorang pemikir yang logikal, dia yang merancang konsep, sementara saya patuh terhadap rencananya dan menjaga agar semua terlaksana dengan benar. Di sela-sela hal itu, pasti lah tidak semua berjalan mulus begitu saja, namun di dalam kondisi apapun satu sama lain berbagi rasa yang sama tentang pentingnya saling memiliki dan menjaga satu sama lain.

Jujur, saya belum menemukan sosok yang saya yakini mampu untuk bersama saya menjadi suatu tim yang solid. Bukan saya mencari kesempurnaan, saya mengerti tidak ada orang yang sempurna. Namun, tidak ada yang lebih indah dibanding secara tulus mencintai ketidaksempurnaan. Dan bolehkah saya merasakan itu sekali lagi, untuk orang terakhir yang akan menemani saya sepanjang hari sampai akhir hidup saya?  Saya pun tidak ingin melihat satu atau dua hati patah lagi. Maka, daripada memaksakan dengan orang yang salah lebih baik menunggu seseorang yang tepat meskipun itu membutuhkan sedikit lebih banyak waktu dan kesabaran.

Saya percaya wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, begitu pula sebaliknya. Jadi dalam masa-masa menjadi single ini, daripada saya pusing mencari ke sana kemari, sebaiknya saya memantaskan diri untuk menjadi orang yang punya kulitas-kualitas terbaik dalam hidupnya. Hanya Tuhan yang paling mengerti bagaimana memasangkan individu baik dengan individu baik. Jika memang waktunya belum tiba, bukan berarti kita yang kurang baik tapi siapa tahu Tuhan sedang menempa calon pasangan hidup untuk memiliki kualitas yang setara dengan kita. Bisa juga sebaliknya. Jadi, stay positive and happy.. Tuhan memberkati semua usaha kita.

Favorite Quote

I believe in pink. I believe that laughing is the best calorie burner.
I believe in kissing, kissing a lot.
I believe in being strong when everything seems to be going wrong.
I believe that happy girls are the prettiest girls.
I believe that tomorrow is another day and I believe in miracles.
(Audrey Hepburn)

Everybody Knows I’m Not a Princess

Oh, I wish!
I wish I wish I wish..
I could be a girl like that.
A classy girl, a girl who has manner of princess.
A girl who sits quietly, thinks thoughtfully, talks calmly, behaves politely.
A girl who can keep secret only for herself, so that people  are curious about that mysterious girl in a corner

Unfortunately, it’s hard for me to change to be somebody like that.
The more I tried to change, the more I found myself lying to the real person inside of me.

Otherwise,
I am a frank speaker.
I have no hesitation to talk about anything, everything inside of my head without being shy or worry that somebody will hate me.
As long as I tell the truth.
I may be good at spreading gossip. Oh no, it’s not gossip, instead of truth.
Well, maybe not everybody can accept the truth.. but truth is always be the truth. Acceptable or not.
I talk loudly, not because I am desperate of attention. I am just excited with the conversation.
I don’t care if some people don’t like my humor, I know some others like.

I am a girl who act spontaneously.
Sometimes accepting challenge without knowing the consequences.
Sometimes being impatience because I like things to get done quickly.
I walk here and there, run here and there, be in a rush so often.
I don’t care if people think I am manner-less, as long as I know I am not hurting anyone.

I know the whole world prefer a girl who act classy like princess, but why should I change myself if changing  is equal to lie to the real person inside of me?

I am who I am, I’m not planning to change myself, or more severely, being fake to be somebody I am not.

 

Terlalu Banyak Berpikir

Terlalu banyak  berpikir menghadapkan kita pada berbagai probabilitas,
yang membutuhkan opsi pemecahan.
Dari situ opsinya perlu dipikirkan kembali. Panjang.
Membuat yang sudah dipikirkan menjadi dipikirkan lagi.
Berulang-ulang.
Terlalu berpikir membuat saya jadi pusing.

That’s why I just wanna have a simple mind.

Maksudnya, berpikir sederhana saja.
Tidak terlalu banyak ekspektasi.
Tidak terlalu khawatir.
Berserah, tapi tetap berusaha.
Ikhlas dengan segala kemungkinan.
Sehingga bersyukur menjadi sesuatu yang lebih mudah dilakukan,
dan bahagia menjadi suatu kondisi yang pencapaiannya sederhana saja.

 

Long Time No See

Hey Blog!

Sorry for not touching you for -wait for it- 2 years!

So many things have changed.
People say that life’s never been the same after graduation.
And It’s proved…
Series of my life events have changed a lot of things in me.
I got my perspective of life broadened, knowledge enriched, mental strengthened, and heart reconciled. Most importantly, I  feel way more peaceful living my life right now.

I hope I am a better person now…

So many things have changed after graduation. Maybe I have to dig my memory.
Months after graduation, I…

1. Moved Back to Jakarta

Coming back to the city where I was born and living again with my parents mean that I get a chance to be back living in warmth.
House of my family is not in the city center. At least  1 hour is needed to reach the house from my work place. When the traffic jam is severe, I need 3 hours to go back home. Sick! However, every time I come to the place I call ‘home’, my exhaustion somehow fades away, for I can see my father, mother, brother, sister, and  our housekeepers. Sitting and sharing stories with them are simple, but somehow can release the relaxing hormone (if it exists) within me. I am so grateful that I was born in the middle of a very caring family. For me, family is the union of people who always make me feel loved and precious. So happy that I come back again living in warmth 🙂

2. Started My Career

Your career is not your job, and vice versa.
I never knew that up until I realize that my first job is not something I really wanna do for the rest of my life. Your career should represents your master plan of life and your job is a vehicle to accomplish every milestone in that master plan. Thus, what you’re doing now should be in line with the goals you set on your master plan of life. Otherwise, thinking to quit is probably the proper thing to do. For you will spend the upcoming 40 years of your life working, it’s better if you do a job that matches your interest.

I am grateful enough with my job. For sure, it gives me a lot of knowledge, exposure, and experience; great chances to develop myself. The working environment is very nice. So many young people, cheerful ambience, making me feel more alive doing activity in the office. More importantly, I know how my job works in achieving the goals on my master plan of life.

3. Broke Up

It’s an old story though.. I experienced the series of heartbreaks in this past 2 years. Something that I’ve never expected. Maybe some parts of it were my fault. Maybe some parts were not. I was a fragile hearted girl who just broke up trying to start again with someone that I was not really sure of. Of course it didn’t work. Though I tried to do my best, but sometimes my best wasn’t good enough to save everything.

It’s an old story though.. Time to grieve is over. Kelly Clarkson sings ‘what doesn’t kill you makes you stronger’ and I’ve to admit the quote is right. Difficult times of having my heart broken give a very big impact in the maturation process of my mental age. The moment of being single gives me a space to reflect who I am, what I want, and what I don’t want. At the end of the day, I learn that no one is perfect. To love someone is to love every single perfect and imperfections, until you can’t figure out why you love him/her because you just love him/her for who he/she is. To get thru it, acceptance and humility are the keys.

But back to the initial question: what I want?
I’ve identified that I want a good person.
I’d rather believe that good person is for good person.
So, if I wanna have someone good for my life, then I have to be a good person. And that’s what I’m trying to be..
I am single now, but I am not anxious. I just enjoy the moment. No need to be in a rush to start again.
So, rather than spending my time looking for the good one, better use the time to continually improve myself to become a better person.
Moreover, let God do the rest.

Cita-citaku akan Kematian


Semua yang hidup adalah calon-calon orang mati. Kematian itu pasti, seperti orang hidup pasti bernafas, seperti orang lapar yang pasti butuh makan, seperti ibu mengandung yang pasti akan melahirkan. Jadi sebenarnya kematian itu harusnya dihadapi, bukan ditakuti. Meski tahu seperti itu, tetap saja aku takut mati. Susah sekali rasanya menerima kenyataan bahwa resiko hidup adalah mati.

Berbicara tentang kematian, sebenarnya aku punya role model orang mati. Maksud aku, aku ingin kematianku nanti seperti kematian orang ini. Role modelku adalah eyang putri karena ia tidak takut ketika kematian menghampirinya. Sejauh ini, kematian eyang adalah kematian yang paling sempurna menurutku. Eyang putri meninggal di waktu yang tepat. Ia meninggal ketika tanggung jawabnya kepada orang-orang di sekitanya sudah rampung, tinggal tanggung jawabnya kepada Tuhan saja yang belum selesai.

Di masa tuanya, aktivitas eyang dipenuhi dengan berdoa. Setiap jam 12 malam eyang pasti bangun dan menyisipkan intensi doa untuk keturunan-keturunannya.Ketika aku punya keinginan khusus, pasti aku minta pada eyang untuk didoakan, dan selalu terkabul. Selalu terkabul tidak pernah tidak.  Aku minta supaya bisa diterima di SMA 8, eyang membantuku dengan doa, dan Tuhan membuat aku diterima di SMA 8. Aku minta supaya bisa kuliah ITB, lagi-lagi aku minta agar eyang mendoakan, dan aku pun bisa kuliah ITB.  Bagiku, restu eyang adalah restu yang paling manjur.

Ada yang menarik tentang hobi berdoa eyang, ada satu doa yang selalu diucapkan, namanya Doa Kain Kafan. Ini adalah doa khusus untuk menghadapi kematian. Selama beberapa tahun terakhir di hidupnya, eyang selalu mendoakan doa ini supaya ia siap menghadapi maut meski maut tersebut tidak kunjung datang. Suatu hari eyang pernah berkata, “konco-koncoku uwis mati, aku kok nggak mati-mati?”. Usia eyang memang sudah sangat tua pada saat itu, suaminya (eyang kakung ku), kakak adiknya, teman-temannya, besan-besan yang seusianya sudah meninggalkan eyang terlebih dahulu.

Mungkin aku bisa bilang bahwa cita-cita eyang di hari tuanya adalah mati. Hari yang ia nanti-nantikan dalam hidupnya adalah hari kematian. Ia sudah siap secara iman untuk mati dan ia tidak pernah takut. Mungkin ini lah keajaiban Doa Kain Kafan yang.  Ketika waktunya datang, eyang meninggalkan kami dalam keadaan yang benar-benar tenang. Kematian yang eyang lalui tidak menimbulkan keresahan yang berlarut-larut, tidak merepotkan keluarga besar kami, bahkan tidak membuat anak-anaknya harus mengeluarkan biaya rumah sakit. Eyang tidak sedang menderita ketika ia meninggal, eyang meninggal di kursi sehabis menonton TV, tanpa masuk rumah sakit. Ia hanya seperti sedang tertidur, hanya saja jiwanya ternyata sudah bersama malaikat.

Kematian eyang membuat aku heran dan kagum. Selama ini ternyata eyang telah menyiapkan beberapa hal yang menjadi kebutuhan pemakamannya. Eyang meletakkan kebaya putih di tumpukan baju paling atas di lemarinya, kebaya ini lah yang ia pakai di dalam peti.  Dari jauh hari, eyang minta untuk disiapkan foto yang bagus dan akhirnya adikku mengeditkan foto dirinya yang tampak tersenyum sumringah, di persemayaman foto ini lah yang dipajang di depan peti matinya. Eyang telah membeli sapu tangan dalam jumlah yang banyak untuk suvenir pemakamannya (dalam pemakaman adat Jawa, pelayat biasanya diberi koin yang dibungkus sapu tangan). Eyang tidak ingin kematiannya merepotkan orang-orang di sekitarnya dan ia telah mewujudkan itu. Eyang pun pernah berkata, kalau aku tidak salah, supaya tabungannya digunakan saja untuk pemakamannya suatu hari nanti meski pada akhirnya pemakaman tersebut tetap dibiayai anak-anaknya dan uang tabungan eyang akhirnya digunakan untuk hal lainnya.

Eyang benar-benar telah siap untuk mati dan betapa sempurna kematian eyang menurutku. Kematian eyang adalah suatu kematian yang indah. Orang-orang yang datang tidak menangis untuk nasib buruk eyang , melainkan untuk mengenang kebaikan eyang semasa hidupnya. Meski pada akhirnya aku menangis juga, sebenarnya aku tidak mau menangis karena aku tahu bahwa kematian lah membuat yang eyang menjadi manusia seutuhnya. Dengan kematiannya ini, selesai lah sudah tanggung jawabnya kepada Tuhan selama ia hidup.

Suatu hari nanti aku ingin mati dengan cara seperti eyang, kematian yang sempurna. Tapi cita-cita tentang kematian tidak sama dengan cita-cita untuk hidup. Tidak sama dengan hal-hal ini: jika aku ingin diterima di ITB, aku bisa belajar rajin setiap hari sehingga aku pasti diterima di ITB. Jika aku ingin menikah di usia 25, aku bisa mengatur rencana-rencana hidupku, menetapkan target, sehingga akan ada pendamping yang tepat ketika aku berusia 25. Jika aku ingin punya rumah besar, aku bisa menabung sehingga aku pasti mampu membelinya.Tapi jika aku ingin mati sebagaimana eyang meninggal, aku tidak memiliki pedoman yang jelas mengenai bagaimana aku harus mewujudkannya. Kematian adalah kehendak Tuhan yang entah kapan akan datang dalam hidupku. Jujur aku belum siap dan aku masih takut akan kematian untuk saat ini, tapi eyang di dalam hidupnya selalu mengajarkan aku untuk dekat dengan Tuhan dan itu lah keadaan yang aku ingin berada ketika aku mati, dekat dengan Tuhan.

Antara Ari dan Fanka

Beberapa bulan belakangan ini, ada dua berita kematian dari orang-orang yang beraktivitas di dekat aku. Pertama, kematian Ariyanni 7 bulan yang lalu dan yang ke dua adalah kematian Fanka, anak Teknik Kelautan ITB 2009. Dua kematian ini agak mirip sebenarnya. Ariyanni dan Fanka, mereka berdua sama-sama meninggal di usia muda dan dengan alasan yang orang-orang di sekitarnya tak pernah sangka.

Ariyanni, teman dekatku, dia meninggal ketika sedang KP di Jakarta. Itu pertama kalinya dia mencoba tinggal di kota orang sendirian, tanpa didampingi orang tua atau saudara. Aku tahu benar bahwa Ariyanni sangat ingin KP di Jakarta, dia tidak mau KP di Bandung atau kota lain, kecuali kalau kota lain tersebut di luar negri. “Latihan buat ntar kerja beneran,” katanya. Instansi KP yang dipilihnya pun bukan asal saja. Ia memilih instansi yang direkomendasikan kakak kelasku. Setahuku pun, instansi tempat KP Ari adalah konsultan yang cukup punya nama. Ariyanni memang begitu, di mataku dia adalah orang yang memiliki banyak mimpi. Cita-citanya tinggi, keinginannya banyak, dan dia memang pintar. Tidak ada yang menyangka, baru seminggu KP di Jakarta, Ari jatuh dari MetroMini. Kecelakaan itu membuat Ari mengalami pendarahan otak sehingga harus dirawat beberapa hari di RSUP dan akhirnya meninggal.

Ariyanni meninggal dengan alasan yang tidak pernah siapa pun sangka. Beberapa hari sebelumnya dia masih terlihat sehat, ceria, biasa saja, normal. Begitu juga yang terjadi pada Fanka. Secara personal, aku tidak kenal Fanka. Aku cuma tahu wajahnya karena sempat beberapa kali bertemu Fanka di gereja. Wajahnya cantik, punya lesung pipi, dan badannya juga tinggi, jadi intinya dia cantik. Aku juga tahu namanya Yofanka karena dia alumni Santa Ursula. Aku pun pernah bersekolah di sekolah itu saat SMP, sementara Fanka bersekolah di situ saat SMA. Dia satu tahun di bawahku, setelah 1 tahun aku lulus dari gedung belanda itu dia baru masuk. Jadi kami tidak pernah satu sekolah dan tidak saling mengenal. Fanka meninggal saat sedang mengikuti arung jeram bersama kelompok pecinta alam, sudah tentu sebelumnya dia sehat-sehat saja, namun Fanka hanyut, hilang, dan setelah pencarian selama beberapa hari dia ditemukan meninggal.

Selama beberapa hari Fanka hilang aku melihat twitter teman-temannya yang menunjukkan keresahan, kecemasan, serta harapan agar Fanka bisa kembali. Sama seperti Ariyanni, saat Ari koma, aku dan teman-temanku semua resah, cemas, selalu ingin tahu perkembangan terkini kesehatan Ariyanni setiap hari, setiap jam, setiap detik. Kami semua berharap ada keajaiban sehingga Ari bisa kembali berada di tengah kami. Jadi aku tahu benar apa yang dirasakan teman-teman Fanka beberapa hari yang lalu dan ketika itu aku pun turut berduka.

Di twitter, semua anak ITB membahas Fanka, Fanka, Fanka. Sama seperti Ari waktu itu, di twitter teman-teman ITB ku membahas Ari, Ari, Ari. Seketika mereka jadi terkenal di seantero kampus, popularitas yang tidak dapat mereka nikmati ketika hidup di dunia.

Pada akhirnya Fanka pun bernasib sama dengan Ariyanni, meninggal dalam usia muda. Katanya pemakaman Fanka ramai sekali. Mengingatkan aku dengan pemakaman Ari waktu itu. Pengunjungnya ramai sekali, sebagian besar masih muda. Aku yakin pelayat Fanka juga sebagian besar masih muda.

Fanka dan Ari merupakan dua sosok yang tidak saling mengenal (sepertinya) namun sama-sama dicintai, sama-sama tidak disangka akan diambil terlalu cepat, tapi sama-sama beruntung karena kata Soe Hok Gie, nasib terbaik adalah tidak pernah dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, yang tersial adalah mereka yang mati di usia tua. Aku yakin Ari dan Fanka sama-sama sudah bahagia di sana.  Ari bisa bebas jalan-jalan ke luar negri tanpa buku hijau. Fanka bisa puas-puasin rafting, naik gunung, berpetualang, tanpa mikir kuliah dan tugas-tugas yang banyaknya segudang. Aku membayangkan betapa serunya jika Ariyanni dan Fanka bertemu di tempat terindah itu, mungkin mereka bisa bertukar banyak cerita karena keduanya memiliki banyak kesamaan. 🙂