Semua yang hidup adalah calon-calon orang mati. Kematian itu pasti, seperti orang hidup pasti bernafas, seperti orang lapar yang pasti butuh makan, seperti ibu mengandung yang pasti akan melahirkan. Jadi sebenarnya kematian itu harusnya dihadapi, bukan ditakuti. Meski tahu seperti itu, tetap saja aku takut mati. Susah sekali rasanya menerima kenyataan bahwa resiko hidup adalah mati.
Berbicara tentang kematian, sebenarnya aku punya role model orang mati. Maksud aku, aku ingin kematianku nanti seperti kematian orang ini. Role modelku adalah eyang putri karena ia tidak takut ketika kematian menghampirinya. Sejauh ini, kematian eyang adalah kematian yang paling sempurna menurutku. Eyang putri meninggal di waktu yang tepat. Ia meninggal ketika tanggung jawabnya kepada orang-orang di sekitanya sudah rampung, tinggal tanggung jawabnya kepada Tuhan saja yang belum selesai.
Di masa tuanya, aktivitas eyang dipenuhi dengan berdoa. Setiap jam 12 malam eyang pasti bangun dan menyisipkan intensi doa untuk keturunan-keturunannya.Ketika aku punya keinginan khusus, pasti aku minta pada eyang untuk didoakan, dan selalu terkabul. Selalu terkabul tidak pernah tidak. Aku minta supaya bisa diterima di SMA 8, eyang membantuku dengan doa, dan Tuhan membuat aku diterima di SMA 8. Aku minta supaya bisa kuliah ITB, lagi-lagi aku minta agar eyang mendoakan, dan aku pun bisa kuliah ITB. Bagiku, restu eyang adalah restu yang paling manjur.
Ada yang menarik tentang hobi berdoa eyang, ada satu doa yang selalu diucapkan, namanya Doa Kain Kafan. Ini adalah doa khusus untuk menghadapi kematian. Selama beberapa tahun terakhir di hidupnya, eyang selalu mendoakan doa ini supaya ia siap menghadapi maut meski maut tersebut tidak kunjung datang. Suatu hari eyang pernah berkata, “konco-koncoku uwis mati, aku kok nggak mati-mati?”. Usia eyang memang sudah sangat tua pada saat itu, suaminya (eyang kakung ku), kakak adiknya, teman-temannya, besan-besan yang seusianya sudah meninggalkan eyang terlebih dahulu.
Mungkin aku bisa bilang bahwa cita-cita eyang di hari tuanya adalah mati. Hari yang ia nanti-nantikan dalam hidupnya adalah hari kematian. Ia sudah siap secara iman untuk mati dan ia tidak pernah takut. Mungkin ini lah keajaiban Doa Kain Kafan yang. Ketika waktunya datang, eyang meninggalkan kami dalam keadaan yang benar-benar tenang. Kematian yang eyang lalui tidak menimbulkan keresahan yang berlarut-larut, tidak merepotkan keluarga besar kami, bahkan tidak membuat anak-anaknya harus mengeluarkan biaya rumah sakit. Eyang tidak sedang menderita ketika ia meninggal, eyang meninggal di kursi sehabis menonton TV, tanpa masuk rumah sakit. Ia hanya seperti sedang tertidur, hanya saja jiwanya ternyata sudah bersama malaikat.
Kematian eyang membuat aku heran dan kagum. Selama ini ternyata eyang telah menyiapkan beberapa hal yang menjadi kebutuhan pemakamannya. Eyang meletakkan kebaya putih di tumpukan baju paling atas di lemarinya, kebaya ini lah yang ia pakai di dalam peti. Dari jauh hari, eyang minta untuk disiapkan foto yang bagus dan akhirnya adikku mengeditkan foto dirinya yang tampak tersenyum sumringah, di persemayaman foto ini lah yang dipajang di depan peti matinya. Eyang telah membeli sapu tangan dalam jumlah yang banyak untuk suvenir pemakamannya (dalam pemakaman adat Jawa, pelayat biasanya diberi koin yang dibungkus sapu tangan). Eyang tidak ingin kematiannya merepotkan orang-orang di sekitarnya dan ia telah mewujudkan itu. Eyang pun pernah berkata, kalau aku tidak salah, supaya tabungannya digunakan saja untuk pemakamannya suatu hari nanti meski pada akhirnya pemakaman tersebut tetap dibiayai anak-anaknya dan uang tabungan eyang akhirnya digunakan untuk hal lainnya.
Eyang benar-benar telah siap untuk mati dan betapa sempurna kematian eyang menurutku. Kematian eyang adalah suatu kematian yang indah. Orang-orang yang datang tidak menangis untuk nasib buruk eyang , melainkan untuk mengenang kebaikan eyang semasa hidupnya. Meski pada akhirnya aku menangis juga, sebenarnya aku tidak mau menangis karena aku tahu bahwa kematian lah membuat yang eyang menjadi manusia seutuhnya. Dengan kematiannya ini, selesai lah sudah tanggung jawabnya kepada Tuhan selama ia hidup.
Suatu hari nanti aku ingin mati dengan cara seperti eyang, kematian yang sempurna. Tapi cita-cita tentang kematian tidak sama dengan cita-cita untuk hidup. Tidak sama dengan hal-hal ini: jika aku ingin diterima di ITB, aku bisa belajar rajin setiap hari sehingga aku pasti diterima di ITB. Jika aku ingin menikah di usia 25, aku bisa mengatur rencana-rencana hidupku, menetapkan target, sehingga akan ada pendamping yang tepat ketika aku berusia 25. Jika aku ingin punya rumah besar, aku bisa menabung sehingga aku pasti mampu membelinya.Tapi jika aku ingin mati sebagaimana eyang meninggal, aku tidak memiliki pedoman yang jelas mengenai bagaimana aku harus mewujudkannya. Kematian adalah kehendak Tuhan yang entah kapan akan datang dalam hidupku. Jujur aku belum siap dan aku masih takut akan kematian untuk saat ini, tapi eyang di dalam hidupnya selalu mengajarkan aku untuk dekat dengan Tuhan dan itu lah keadaan yang aku ingin berada ketika aku mati, dekat dengan Tuhan.